Jumat, 03 Juni 2016

Menulis

Sebenarnya lebih cocok kalo disebut mengetik, baik itu cerpen, cerita panjang, novel dll dimulai dengan item mesin ketik atau laptop atau komputer bla bla bla soalnya kalo nulis pake tulisan tangan bisa gempor tangan kita. Btw ini bukan mengupas soal ketik mengetik, tapi tentang sulitnya membuat sebuah karya tulis.

Tong, emang lu penulis terkenal sampe ngerti susahnya nulis?

Nah makanya itu, saking sulitnya menulis, tulisan saya sering kandas di tengah jalan. Saya bingung, karya tulis sama hubungan asmara kenapa saling berkoalisi dalam kehidupan sehari-hari saya huhuhu. #plak

Daripada curhat tentang kengenesan kalbu, lebih endes kalau saya mulai pembahasannnya, jadi gini (cari posisi pw, lempar poni), sebelumnya saya pernah punya karangan tulisan yang sudah diposting di catatan facebook, bisa dilokit di akun Herjud, karangan itu sebut saja fanfict, semacam tulisan seorang penggemar yang membuat sebuah cerita fiksi, yang di mana sosok yang dikaguminya bermain dalam cerita tersebut, simpelnya fantasi penggemar pada idolannya, ingat ini FANTASI, bukan DELUSI maupun ILUMINASI atau ZIONIS juga DESEPTIKON.

Fanfict itu jenis tulisan yang gampang, buat imajinasi praktis tapi menarik, tidak perlu kosakata baku atau formal, dengan perspektif orang pertama, seet jadilah sebuah karya, tapi belum tentu karya anda disenangi atau diminati, tergantung premisnya sih kalau kata juri komedi berdiri.

Premis yang saya buat waktu itu sederhana, seorang pembuat kopi (kalau barista ketinggian) di sebuah warung kopi pinggir jurang maksudnya jalan, yang mengalami kisah menarik yaitu warkopnya dijadikan tempat nongkrong sebuah grup idola, dan kemudian perlahan-lahan memunculkan bias-bias asmara di antara beberapa tokoh di dalamnya. Jangan menganggap dulu karangan saya itu mainstream, big no, saya ngebuat tulisan itu serealitas mungkin, soalnya 40% dari karangan itu pernah teraplikasi dalam hidup baginda, 70%nya walaupun fiktif tapi tidak saya buat terlalu cinderella story seperti contoh seorang artis muda jatuh cinta pada karyawan warkop yang telah menumpahkan air mendidih 220° fahrenheit di atas kepalanya, karena saya tau percintaan itu tidak semudah kisah ftv atau drama korea.
(Tidak mudah bagi yang parasnya standar maksud saya)
Mong-ngomong itu 40% 70%=110% ya...


Well, balik lagi ke persoalan, seperti yang saya bilang fanfict itu jenis karangan yang mudah, beda dengan cerita panjang atau semacam teenlit sebutan anak 90an, serta novel 300an halaman, jenis ini harusnya sudah masuk dalam gaya baku dan formal, walaupun beberapa masih ada yang make penulisan casual, tapi tatanannya sudah harus sesuai standar percetakan, nah bagian ini yang sulit, mungkin saya jabarkan satu persatu...

  - Sudut pandang, kebanyakan novel yang pernah saya baca menggunakan perspektif orang ketiga yang bisa menjelaskan semua kejadian atau gambaran secara detil. Ini agak sulit, soalnya imajinasi kita harus luwes, ibarat seorang sutradara yang menciptakan tokoh protagonis dan antagonis, lalu memainkannya pula. Beda dengan sudut pandang pertama, hanya menciptakan satu tokoh lalu bercerita tentang apa yang dialami atau dilihat oleh tokoh itu, dan digambarkan dengan sosok AKU. Kesulitannya beda, PERSPEKTIF-3 harus punya ide yang lebih banyak dan luas, jeli dan mendetail, tapi keuntungan sudut pandangan ini yaitu lembar demi lembar akan gampang terisi banyak, tapi di sisi lain akan mudah membuat bosan. Sedangkan kesulitan PERSPEKTIF-1 yaitu membuat tulisan jadi lebih hidup, karena berbekal dengan satu pandangan yang kita harus menciptakan suasana yang tidak terlalu monoton 

  - Pemilihan kata, beh ini yang paling kampret menurut saya, ini soal kemampuan ilmu berbahasa indonesia yang baik, benar, dan sesuai ejaan yang disempurnakan. Saya pernah bilang ke seorang teman, bahasa indonesia itu lebih susah dari bahasa kuvukiland, ini soal cocok-cocokan kata antara MELIRIK dan MENENGOK, tepat-tepatan penempatan antara DIBAJAK dan DI BAJAK. Itulah kalau kita mau merasakan susahnya bahasa indonesia, menulislah. 

  - Mood, nah ini juga yang agak sue. Ketika ingin menulis, ada baiknya diawali dengan niat dan semangat pejuang 45. Kalau kau tidak punya cukup jiwa patriotisme dalam semangat, berpikirlah dengan optimisme tinggi bahwa tulisanmu akan disukai banyak orang, lalu dicetak dalam buku trus dijual di grademia *uhuk kode endorse, setelah itu kau akan seterkenal penulis macam Raditya Dika yang bisa punya pacar secantik Babe Cabita eh typo Sherina. Optimis membuat mood tidak menurun, karena ketika mood menurun, ide sulit terhimpun, dan tulisanmu ngadat berakhir vakum. Ya sama lah kasusnya seperti mendaki gunung, ketika capek kita tidak boleh lama berhenti, karena lelahnya makin lama akan makin terkalkulasi yang bisa membuat dehidrasi, keram kaki, oposisi, penetrasi, dan akumulasi lalu penalti dan degradasi. Lalu rame-rame bilang "wasitnya dibayar", lah iya bego memang dibayar.
 APA INI KENAPA JADI WASIT!!

  - Premis atau Tema (sama aja keles ye). Pada dasarnya semua orang bisa berimajinasi, tidak seperti astral project yang harus ngeluarin sukma *wess bahasanya, imajinasi cuma perlu mengkhayal, menciptakan suatu dunia di dalam pikiran, lalu mainkan. Tapi tidak semua premis berasal dari fiktif, bisa juga berdasar pengalaman nyata, ataupun crossover asli fiksi biar bumbu-bumbu dalam cerita lebih berasal, karena masakan tidak cukup gurih hanya dengan garam dan gula, juga di perlukan vetsin dan sebangsanya. Btw saya sebagai penulis super amatir lebih prefer ke arah premis fiktif, asal tau saja imajinasi saya setara dengan level sang maestro sci-fi Christoper Nolan, bedanya beliau bisa mengaplikasikan ke dalam layar lebar, sedangkan saya cuma ke layar smartphone, itupun sering macet, kalaupun berhasil keposting viewersnya sedikit. Ckckck thug life

(Kamus) *Vetsin: Suatu kondisi di mana tubuh secara otomatis mengeluarkan partikel kotor/debu yang masuk dari hidung*

Ada lagi kasus yang menarik, ini disebut improvisasi dalam penulisan, mungkin juga pernah dialami oleh para pemikir kreatif. Jadi bagi yang dulu semasa sekolah masih belum marak google-googlean, ada kalanya merasa kesulitan ketika mengerjakan LKS tapi tidak menemukan jawaban dalamnya, kemudian mencari di buku materi yang lebih lengkap, tapi tidak juga menemukan jawaban yang pas, well apa yang dilakukan? Nah improvisasi, cukup cari kata-kata yang menurut kita relevan, digabung dengan kata-kata karangan biar terdengar selaras dan nyambung, taraaa kelar permasalahan, nilai urusan belakangan huahaha.

Lagipula proses kegiatan pembelajaran akademik yang kita alami akhirnya berujung pada kegiatan menulis, kalau kata gamer raja terakhir atau raja besarnya itu adalah SKRIPSI, walaupun masih ada proses sidang setelahnya, tapi skripsi cenderung jadi momok menakutkan untuk mahasiswa yang sebentar lagi bergelar sarjana. Saya memang belum pernah merasakan yang namanya skripsi, tapi saya rasa seorang penulis aktif tidak akan banyak dapat masalah jika berhadapan dengan skripsi. Penulis bukan hanya mengandalkan ide dan imajinasi, tapi juga observasi. Seorang Artur Conan Doyle tidak mungkin menulis Sherlock kalau tidak masuk ke dalam dunia kriminal dan investigasi kepolisian, J.K Rowling yang mampu menciptakan Hogwarts pasti mempelajari tentang sihir dan tidak hanya bermodal mantra simsalabim abrakadabra, ataupun Trinity yang membuat Naked Traveler, tidak mungkin kan beliau cuma melihat dunia hanya dengan menonton My Trip My Adventure? Semua melalui tahap observasi, dan tahap observasi juga dialami oleh mahasiswa tingkat akhir yang mengerjakan skripsi.

Well, penulis tidak sulit menyelesaikan skripsi? Kemungkinan besar ya, penulis terbiasa mengexplore ide dan gagasan, dan mahasiswa darurat skrispsi cenderung mengcopy paste tulisan yang sudah ada, tidak ada improvisasi, dan dosen pembimbing yang sudah jeli pasti akan merasa basi lalu meminta koreksi dan koreksi. Beberapa mahasiswa emosi dalam tahap ini, dan terbukti dengan yang baru-baru ini terjadi, mahasiswa geram karena skripsi terus dikoreksi, lalu membunuh dosenya sendiri, sebuah ironi.

Sekali lagi saya belum pernah merasakan skripsi, jadi anggapan saya di atas belum tentu benar juga sih. Tapi satu yang pasti, SKRIPSI berarti MENULIS, jadi jika ingin belajar merasakan SKRIPSI, cobalah MENULIS.

Btw diriku mungkin daftar kuliah tahun ini, doakan aku ya!
*ala benteng takeshi*